Namlea,iNewsUtama.com – Ada getar lembut di balik senyum tenang Abdullah Vanath ketika ia mengisahkan satu masa yang ia sebut sebagai “saat terindah” dalam hidupnya. Bukan di tengah hiruk pikuk politik atau sorak kemenangan, melainkan di sudut sunyi kampung halamannya, pesisir Seram Bagian Timur.
Itu terjadi ketika musim durian mulai berbunga. Udara sore menghembuskan wangi manis samar—aroma janji dari buah yang belum matang. Tanah basah selepas hujan, embun yang menitik di pucuk daun, dan hening yang dipecah oleh kicau burung, menjadi latar harmoni yang jarang disadari orang.
Dengan senapan angin kesayangannya, Vanath melangkah sendirian menembus rimba. Cahaya matahari memercik di sela dedaunan, dedaun basah menggesek lirih, seperti rahasia yang hanya alam dan dirinya yang tahu. Di setiap langkah, ia tidak sekadar memburu burung, tetapi juga memburu ketenangan yang menenangkan jiwa.
Namun, puncak kebahagiaannya justru hadir di malam hari, di sebuah kebun sederhana, hanya beberapa meter dari bibir pantai. Di sanalah ia duduk bersama sang istri, tanpa kata, hanya ditemani irama ombak malam. Angin laut menyapu wajah mereka, membawa aroma asin yang berpadu wangi bunga kelapa. Di atas sana, bintang-bintang tampak begitu dekat, seolah Tuhan menurunkannya hanya untuk mereka berdua.
Bagi Vanath, pantai bukanlah garis batas antara darat dan laut. Ia adalah altar sunyi tempat hati beristirahat, tempat segala lelah hanyut bersama arus, dan tempat setiap tarikan napas menjadi doa.
“Malam-malam itu,” ucapnya lirih, “membuat saya percaya… kebahagiaan sejati tidak pernah memerlukan alasan. Ia hanya datang, dan hati kita tahu saat ia tiba.”
Kisah ini adalah pengingat bahwa di antara wangi bunga durian, desir ombak, dan langit berbintang, manusia bisa menemukan rumahnya—di dalam hatinya sendiri.
Namlea, 12 Agustus 2025
(Mus Latuconsina)