AMBON,iNEWS UTAMA – Banjir berulang di kawasan Jalan Laksdya Leo Wattimena, Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, kembali menampar nurani publik. Belasan tahun warga terjebak dalam genangan air setiap musim hujan, namun solusi nyata tak pernah hadir.
Di balik banjir ini, tersibak dugaan pembabatan hutan penyangga di wilayah atas Waiheru. Warga menuding alat berat milik seorang petinggi BUMD Maluku menjadi aktor utama. Ironisnya, aktivitas ilegal itu berlangsung tanpa izin, bahkan diakui sendiri oleh Kepala Desa Waiheru yang tak pernah menerima pemberitahuan resmi.
Aktivitas pembabatan jelas melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hilangnya hutan penyangga otomatis merusak ekosistem, menghapus drainase alami, dan menyeret ribuan warga jadi korban banjir setiap musim hujan.
“Ini pembiaran sistematis. Hutan dibabat, warga yang menanggung derita. Pemerintah diam, DPRD pun bungkam,” tegas salah seorang tokoh masyarakat Waiheru.
Masyarakat mengaku sudah berkali-kali melapor ke DPRD Kota Ambon dan instansi kehutanan. Namun, nyaris tak ada tindak lanjut. Fungsi pengawasan DPRD lumpuh, sementara aparat kehutanan yang mestinya menjadi benteng terakhir justru seakan menutup mata.
Pertanyaan besar pun mengemuka: apakah wakil rakyat dan aparat lebih takut pada kekuasaan pelaku daripada pada penderitaan rakyatnya sendiri?
Setiap musim hujan, akses transportasi di jalan utama lumpuh, kerugian ekonomi menumpuk, dan risiko kesehatan terus menghantui. Banjir di Waiheru telah menjadi "bencana tahunan", dibiarkan seolah tak ada jalan keluar, sementara hutan kian terkikis.
Aktivis lingkungan mendesak aparat penegak hukum turun tangan segera: mulai dari Polisi Kehutanan, DLH, hingga Kejaksaan.
“Tidak boleh ada perlakuan istimewa hanya karena pelaku punya jabatan di bank daerah. Kalau benar ada pembabatan tanpa izin, harus diproses hukum. Tegakkan UU, jangan pilih kasih,” tegas salah seorang aktivis.