Ambon,iNewsutama.com--Ketegangan kembali membara di Negeri Rumah Tiga, Kecamatan Teluk Ambon, setelah proses pelaksanaan putusan pengadilan terkait penetapan mata rumah dan kepemimpinan negeri menemui jalan buntu. Rapat resmi yang digelar di kantor negeri tidak menghasilkan kesepakatan, meskipun putusan hukum telah berkekuatan tetap (inkracht).Selasa,(30/07/25)
Kondisi ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk keluarga besar ahli waris Hatulesila yang merasa upaya mereka untuk menegakkan hukum terus diabaikan.
Ketua Saniri Negeri Rumah Tiga, Erhard V. Hatulesi, menegaskan bahwa putusan pengadilan harusnya menjadi acuan utama dalam menentukan arah kepemimpinan negeri. “Poin dua putusan itu jelas menyebutkan bahwa pejabat pemerintah wajib memfasilitasi rapat pelaksanaan keputusan. Namun, sebagian peserta tetap memaksakan penggunaan Berita Acara Nomor 4 tertanggal 2 Mei 2025,” ungkapnya.
Menurutnya, dokumen tersebut sebenarnya sudah gugur karena telah diuji secara hukum. Namun, oknum tertentu tetap ingin memberlakukannya kembali dengan mengesampingkan putusan pengadilan.
Sementara itu, Pejabat Negeri Rumah Tiga, S. Ridwan Para, mengaku pihaknya hanya menjalankan mandat yang ada. Ia menyebut berita acara tersebut memang menjadi acuan dalam sejumlah diskusi sebelumnya. “Kami akan tetap berpedoman pada berita acara Nomor 4. Namun pada akhirnya, semua kami serahkan kepada Pemerintah Kota Ambon,” ujarnya.
Pernyataan yang paling keras datang dari juru bicara keluarga besar Hatulesila, Oris Latuhesila, yang menilai ada upaya sistematis untuk mengabaikan hukum. “Kami sudah bersabar, tapi ini bukan soal pribadi. Ini soal ketaatan terhadap hukum. Jika pemerintah negeri tidak patuh pada keputusan pengadilan, maka itu melawan hukum dan bisa dikenakan sanksi pidana,” tegasnya.
Oris menambahkan bahwa pihaknya telah melayangkan surat resmi ke berbagai pihak, termasuk Walikota Ambon dan Sekretaris Kota Ambon, guna meminta intervensi tegas dari pemerintah kota. “Kami berharap Walikota Ambon bisa segera bertindak. Negara ini berdiri di atas hukum, bukan tafsir kelompok tertentu,” ujarnya.
Situasi yang memanas ini disebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap hukum. Keputusan pengadilan, termasuk dari tingkat Mahkamah Agung, telah final dan mengikat. Jika diabaikan, konflik ini dikhawatirkan akan merusak tatanan sosial dan menghambat pembangunan di wilayah tersebut.
Kepercayaan masyarakat terhadap perangkat negeri pun kian memudar. Sejumlah tokoh menilai Saniri dan pejabat negeri telah melanggar kode etik serta gagal menjalankan proses penetapan pemimpin secara adil dan transparan.
Kondisi ini juga dianggap bisa menjadi preseden buruk bagi tatanan pemerintahan adat di Kota Ambon. Masyarakat mendesak agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur pemerintah negeri, bahkan bila perlu dilakukan pengangkatan pemimpin baru yang berpihak pada hukum dan kepentingan masyarakat luas.
“Kalau keadilan negara saja bisa dilanggar, maka Negeri Rumah Tiga bisa menjadi awal dari krisis kepercayaan rakyat terhadap hukum dan adat,” ujar seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Kini, warga menantikan langkah tegas dari Walikota Ambon, Drs. Bodewin M. Wattimena, untuk menyelamatkan wibawa hukum serta menjamin hak-hak masyarakat Negeri Rumah Tiga ditegakkan secara adil.
Reporter: Tim Redaksi iNewsUtama
Editor: R.S. Latumahina
Sumber: Wawancara langsung & dokumen resmi keluarga Hatulesila