Notification

×

Iklan



Iklan



Maluku Jadi Ladang Modal, Rakyat Hanya Jadi Penonton

Kamis, 09 Oktober 2025 | Oktober 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-09T08:58:16Z

 



Provinsi Kaya yang Tetap Miskin

Oleh Redaksi iNews Utama / Opini

Maluku,iNEWS UTAMA—Provinsi ini selalu dielu-elukan dengan narasi “kaya sumber daya alam.” Lautnya luas, tanahnya menyimpan nikel, emas, hingga migas kelas dunia. Namun di balik gemerlap potensi itu, rakyat Maluku tetap bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) masih menempatkan Maluku di antara provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Sebuah ironi di tanah yang konon diberkahi sumber daya melimpah.

Di Pulau Buru, emas diperas dari gunung-gunung, namun sungai tercemar merkuri. Di Seram Bagian Barat (SBB), nikel dikeruk tanpa ampun, menyisakan hutan gundul dan air yang tercemar. Di Tanimbar, proyek Blok Masela yang dijanjikan membawa “kejayaan energi nasional” justru membuat nelayan kehilangan laut dan tanah adat digusur demi investasi.

Kapitalisme hadir dengan wajah lain di sektor pariwisata. Banda, yang dijual sebagai “surga wisata eksklusif”, justru menjadi tempat di mana warga yang selama berabad menjaga laut dan tanah, kini tersingkir dari ruang hidupnya. Bahkan proyek energi hijau seperti panas bumi di Seram dan Buru pun tidak luput dari skema serupa—rakyat dipinggirkan, modal berjaya.

Selama dua dekade terakhir, investasi besar terus mengalir ke Maluku. Namun sebagian besar keuntungan justru pergi keluar daerah, meninggalkan beban sosial dan ekologis bagi masyarakat lokal. Struktur ekonomi yang timpang dan penetrasi kapitalisme ekstraktif membuat rakyat hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

Di SBB, ekspansi tambang nikel dan investasi pisang Abaka telah melahirkan konflik agraria yang panjang. Di Maluku Tengah, praktik penguasaan lahan oleh perusahaan kelapa sawit memicu ketegangan antara masyarakat adat dan elit politik, bahkan berujung pada kriminalisasi aktivis lingkungan.

Di Buru, pencemaran sungai akibat tambang emas ilegal maupun legal telah menciptakan krisis kesehatan dan pangan. Sementara itu, di Tanimbar, nelayan kian terjepit karena wilayah tangkap mereka berubah menjadi zona industri migas.

Kini, bahkan proyek panas bumi yang diklaim ramah lingkungan berpotensi menimbulkan konflik baru. Hutan adat—sumber kehidupan masyarakat—terancam hilang, sementara partisipasi warga dalam pengambilan keputusan nyaris tidak ada.

Maluku menghadapi risiko menjadi “provinsi kaya yang tetap miskin” bila arah pembangunan terus dikuasai oleh logika kapitalisme ekstraktif.
Solusinya bukan sekadar menambah investasi, tetapi mengubah paradigma pembangunan: menempatkan rakyat sebagai subjek utama, memberi ruang bagi masyarakat adat untuk mengelola sumber daya secara berkelanjutan, serta menjamin keadilan sosial dan ekologis.

Tanpa itu, jargon “Indonesia Emas” hanya akan bermakna emas dan nikel Maluku dikeruk habis—sementara rakyatnya tetap miskin di atas tanah yang kaya.(***)

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update