Notification

×

Iklan



Iklan



100 Hari Hendrik-Vanath: Janji Perubahan Belum Terjawab

Selasa, 10 Juni 2025 | Juni 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-10T22:51:30Z

 



Ambon,iNewsutama.com — Pemerintahan Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa dan Wakil Gubernur Abdullah Vanath genap memasuki 100 hari pertama masa kepemimpinan. Meski dilantik pada Februari 2025 dengan janji membawa perubahan signifikan, sejumlah kalangan menilai arah kebijakan keduanya masih belum jelas dan minim pencapaian konkret.Rabu,(11/06/24).

Sebelum resmi menjabat, pasangan ini diketahui aktif menjalin komunikasi dengan sejumlah menteri pusat untuk memperkuat posisi strategis Maluku dalam peta pembangunan nasional. Namun, hasil dari komunikasi tersebut belum tampak jelas di lapangan.

Salah satu isu krusial adalah konflik lingkungan di Buru Selatan. Meski Gubernur sempat meminta Menteri Kehutanan menghentikan sementara izin penebangan hutan, protes mahasiswa terhadap aktivitas eksploitasi hutan oleh PD Panca Karya—perusahaan milik Pemprov Maluku—menunjukkan ketidaksesuaian antara kebijakan pusat dan pelaksanaannya di daerah.

“Ini bukan soal niat, tapi soal konsistensi dan keberanian menindak,” ujar salah satu aktivis lingkungan dari Ambon.

Pemerintahan Hendrik-Vanath juga dinilai masih terjebak pada agenda seremonial dan simbolik. Dalam tiga bulan terakhir, kegiatan lebih didominasi pelantikan, kunjungan kerja, dan pernyataan retoris tanpa realisasi kebijakan yang substansial.

Reformasi birokrasi, yang menjadi janji kampanye utama, belum menunjukkan tanda-tanda perubahan berarti. Tidak ada kebijakan signifikan dalam penempatan pejabat berbasis meritokrasi. Justru, isu politik balas budi mencuat ke permukaan dalam sejumlah keputusan strategis.

Kritik juga muncul terhadap lambannya progres Maluku Integrated Port (MIP)—proyek strategis yang digadang-gadang menjadi motor penggerak ekonomi daerah. Hingga kini, belum ada kejelasan soal konsep, tahapan pelaksanaan, maupun mekanisme pembiayaan proyek tersebut.

“Minimnya komunikasi publik sangat disayangkan. Tanpa transparansi, kepercayaan publik sulit tumbuh,” ujar pengamat kebijakan publik dari Universitas Pattimura.

Alasan klasik terkait keterbatasan anggaran dari pusat kembali digunakan pemerintah sebagai pembenaran lambannya pembangunan. Namun, pengamat menilai narasi ini kurang relevan, mengingat daerah lain dengan masalah serupa mampu menciptakan inovasi pembiayaan alternatif.

Potensi ekonomi Maluku yang melimpah juga belum tergarap optimal. Kawasan Gunung Botak di Pulau Buru, yang memiliki nilai ekonomis tinggi, belum dikembangkan secara legal dan ramah lingkungan. Hal serupa terjadi pada potensi tambang nikel di Seram Bagian Barat yang belum mendapat perhatian sebagai sektor strategis pembangunan daerah.

Di sektor kelautan, Maluku yang dikenal sebagai lumbung ikan nasional justru belum memiliki strategi industrialisasi perikanan yang terintegrasi. Absennya pembangunan pelabuhan perikanan terpadu dan industri pengolahan hasil laut memperkuat kesan stagnasi.

Sektor pariwisata yang menyimpan potensi besar juga belum mendapat perhatian memadai. Minimnya infrastruktur, promosi, dan pelibatan masyarakat membuat potensi wisata Maluku belum berkontribusi signifikan terhadap ekonomi lokal.

Pakar menilai, kolaborasi lintas sektor seperti kampus, komunitas sipil, dan dunia usaha perlu segera diaktifkan agar pembangunan benar-benar berbasis kebutuhan masyarakat.

“Jika 100 hari pertama tidak dimanfaatkan untuk meletakkan fondasi yang kuat, maka lima tahun ke depan berisiko stagnan,” ujar seorang akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial Unpatti.

Kini publik menunggu langkah nyata. Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath dihadapkan pada tuntutan besar untuk membuktikan kapasitas mereka bukan sekadar pemimpin seremonial, melainkan agen perubahan yang membawa Maluku ke arah kemajuan.(SLP)

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update