SBT, iNewsUtama.com – Kebijakan Bupati Seram Bagian Timur (SBT) Fahri Husni Alkatiri terkait program hilirisasi sagu menuai gelombang kritik tajam dari masyarakat adat. Program yang diklaim untuk meningkatkan kesejahteraan justru dinilai sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang berpotensi mengancam hak ulayat dan masa depan ekonomi rakyat pemilik pohon sagu.
Aktivis Maluku asal SBT, Jihat Buano, menilai kebijakan tersebut hanya menguntungkan pemerintah dan investor, sementara masyarakat adat akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Menurutnya, sagu tidak bisa diperlakukan layaknya padi sawah atau tanaman hortikultura yang dapat dipanen dalam waktu singkat.
“Satu batang sagu punya nilai ekonomi besar. Itu bisa menyekolahkan anak-anak sampai kuliah, bisa biayai hidup keluarga di kampung. Kalau dipaksa dengan dalih hilirisasi, rakyat adat hanya akan dijajah, tanah ulayat bisa dirampas dengan alasan pembangunan,” tegas Jihat, Jumat (25/8/2025).
Ia menjelaskan, budidaya pohon sagu membutuhkan waktu 10 hingga 15 tahun hingga siap panen. Karena itu, program hilirisasi yang dipaksakan tanpa persiapan dianggap sebagai ancaman langsung terhadap hak hidup rakyat.
“Sagu bukan cabai atau tomat yang bisa ditanam dan dipanen cepat. Kalau Bupati mau hilirisasi, silakan siapkan kebun sagu milik pemerintah lebih dulu. Jangan mengincar sagu milik rakyat adat yang sudah turun-temurun jadi penopang hidup,” tambahnya.
Lebih jauh, Jihat mengingatkan bahwa program hilirisasi berpotensi menjadi pintu masuk perampasan hak masyarakat adat. Dengan dalih pembangunan, pemerintah dan investor dikhawatirkan dapat menekan rakyat untuk menyerahkan pohon sagu milik mereka.
“Ini jelas ketidakadilan. Rakyat dipaksa menyerahkan hasil bumi, sementara penguasa dan investor yang menikmati keuntungan. Lama-lama tanah ulayat dan hutan sagu bisa habis dirampok dengan alasan proyek hilirisasi,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Jihat mengajak masyarakat adat SBT untuk bersatu menolak kebijakan hilirisasi sagu yang dianggap sarat kepentingan politik dan bisnis segelintir elit.
“Jangan biarkan Bupati membawa rakyat ke jurang penindasan dengan dalih pembangunan. Hilirisasi ini bukan untuk kesejahteraan, tapi untuk memperkaya penguasa. Rakyat adat harus lantang bersuara, karena diam berarti menyerahkan hak hidup pada penjajahan gaya baru,” tutupnya.(RUS-SLP)