AMBON, iNEWSUTAMA.COM – Terpilihnya Hendrik Lewarissa dan Abdullah Vanath (HL–AV) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku membuka lembaran baru dalam perjalanan politik dan pembangunan di provinsi kepulauan ini. Di tengah arus globalisasi, kemajuan teknologi, dan tuntutan transparansi, masyarakat kini bukan lagi sekadar penonton, melainkan aktor aktif dalam demokrasi lokal.
Dalam tulisan opini yang disampaikan oleh Ketua Wilayah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Maluku, pemerintahan HL–AV dinilai sebagai momentum penting untuk menghadirkan tata kelola pemerintahan yang tidak hanya progresif secara infrastruktur, tapi juga responsif terhadap makna sosial, budaya, dan keadilan spasial.
Langkah Awal Apresiatif: Infrastruktur Sebagai Akar Konektivitas
Kelautan, Perikanan, dan Kemaritiman: Poros Ekonomi Masa Depan
Menjaga Makna "Orang Basudara": Pembangunan Berbasis Nilai
Krisis Legitimasi dan Ancaman Politik Identitas
Dialog Adalah Kunci: PSI Dorong Partisipasi dalam Proyek Strategis
Harapan Baru dari Anak Pulau
Langkah awal HL–AV yang fokus pada pembangunan infrastruktur laut dan darat dianggap sebagai langkah taktis dan strategis. Komitmen ini dinilai sebagai pengakuan jujur atas kondisi geografis Maluku yang berciri kepulauan.
Apalagi, dengan masuknya Maluku dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), ini menjadi peluang emas yang perlu dikawal oleh kebijakan yang inklusif dan berpihak pada masyarakat pulau.
Namun demikian, tantangan terbesar bukan hanya realisasi proyek fisik, melainkan bagaimana membangun visi fiskal jangka panjang berbasis potensi kemaritiman, yang selama ini belum dioptimalkan secara struktural.
Laut tidak boleh lagi dipandang sebagai batas, melainkan sebagai sumber kekuatan ekonomi. Pemerintah HL–AV diharapkan menempatkan sektor perikanan, kelautan, dan kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan daerah. Namun hal ini memerlukan lebih dari sekadar visi — dibutuhkan investasi teknologi, SDM unggul, dan birokrasi yang paham dunia bahari.
Rekrutmen birokrasi juga disorot: jangan hanya berdasarkan loyalitas politik, tetapi kompetensi teknis, terutama di sektor-sektor strategis.
Maluku dikenal sebagai rumah dari pluralisme sosial dan budaya, dengan nilai persaudaraan “orang basudara” yang telah mengakar lama. Pemerintahan HL–AV ditantang untuk memasukkan nilai-nilai ini dalam kebijakan pembangunan, bukan sekadar menjadi jargon budaya.
Kawasan-kawasan seperti teluk, semenanjung, dan pulau-pulau kecil bukan hanya entitas administratif, tetapi wilayah dengan nilai kultural yang dalam. Maka, pembangunan infrastruktur di wilayah ini perlu didahului dengan dialog sosial dan partisipasi warga lokal, agar tidak kehilangan makna.
Penulis juga mengingatkan bahwa jika kebijakan pemerintahan HL–AV gagal menyentuh kebutuhan sosial dan nilai budaya masyarakat, maka krisis legitimasi bisa muncul. Bahkan lebih jauh, politik identitas bisa kembali menjadi alat kelompok lama untuk mempertahankan pengaruh.
Mengutip pemikiran Karl Popper, pemerintahan terbuka harus waspada terhadap “musuh dari dalam” mereka yang menolak perubahan tapi terus menguasai sistem.
"Inilah tantangan HL–AV: mencegah oligarki lama bermetamorfosis dan menjaga agar Maluku tetap terbuka, inklusif, dan adil."
Sebagai partai politik yang menjunjung antikorupsi dan keterbukaan, PSI Maluku mendorong agar setiap kebijakan strategis, khususnya terkait PSN, dilakukan secara partisipatif dan transparan.
"Pemerintah yang baru perlu dikawal, bukan hanya untuk dikritik tapi juga untuk dibantu sukses. Maluku butuh kolaborasi, bukan konfrontasi," ujar Ketua PSI Maluku dalam pernyataan tertulisnya.
Penutup dari opini ini menekankan harapan besar masyarakat Maluku terhadap duet HL–AV. Bahwa pemimpin yang lahir dari pulau kini diberi kesempatan untuk menjawab tantangan sejarah — membangun Maluku dengan beton dan baja, tetapi juga dengan nilai, rasa, dan keadilan sosial.(RN)