Jakarta,iNewsutama.com – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) hari ini secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Keputusan ini menuai polemik karena dinilai tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Banyak pihak menilai proses legislasi tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat secara luas, sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Sejak awal, revisi UU TNI ini sudah memicu kontroversi, terutama terkait beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Salah satu poin utama yang menjadi sorotan adalah perluasan peran TNI di sektor sipil serta perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi. Para pengamat menilai bahwa kebijakan ini berpotensi mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, yang seharusnya tetap terpisah demi menjaga keseimbangan demokrasi.
Kritik dari akademisi, organisasi masyarakat sipil, hingga aktivis hak asasi manusia (HAM) yang menentang beberapa ketentuan dalam revisi ini tampaknya tidak mendapat perhatian serius dari DPR RI maupun pemerintah. Proses pembahasan yang berlangsung tertutup dan terburu-buru semakin memperkuat kesan bahwa revisi UU TNI lebih mengakomodasi kepentingan elite tertentu daripada kepentingan masyarakat luas.
Publik juga menyoroti kurangnya ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses legislasi ini. Ketika kritik mulai muncul, DPR RI dan pemerintah dinilai menutup telinga, mengabaikan suara rakyat yang seharusnya menjadi landasan utama dalam pembuatan kebijakan. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai arah demokrasi Indonesia di masa depan, apakah masih dalam koridor demokrasi atau justru semakin mengarah pada pemerintahan yang otoriter.
Selain itu, pengesahan UU TNI ini juga dinilai sebagai indikasi melemahnya kontrol sipil terhadap militer. Dalam sistem demokrasi, militer seharusnya berada di bawah kendali sipil yang kuat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Namun, dengan adanya ketentuan yang memungkinkan perwira aktif untuk menduduki posisi di pemerintahan sipil, dikhawatirkan dominasi militer akan semakin kuat dan bertentangan dengan semangat reformasi yang selama ini diperjuangkan.
Dengan keputusan ini, kepercayaan publik terhadap DPR RI sebagai lembaga representatif semakin dipertanyakan. Jika lembaga legislatif terus mengabaikan aspirasi masyarakat dan hanya mengakomodasi kepentingan segelintir elite, maka legitimasi mereka sebagai wakil rakyat akan semakin terkikis.
Masyarakat diharapkan untuk lebih aktif dalam mengawal kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR RI. Langkah-langkah advokasi, judicial review, hingga gerakan sosial dapat menjadi upaya untuk menolak kebijakan yang dinilai merugikan demokrasi. Jika rakyat tidak bersuara, bukan tidak mungkin kebijakan serupa akan terus lahir dan semakin menjauhkan Indonesia dari prinsip demokrasi yang sesungguhnya.(Rus-Rn)